Yogyakarta – Keraton Kadipaten Puro Pakualaman Yogyakarta sampai hari ini tak henti terus menciptakan motif-motif batik khas sebagai upaya pelestarian. Sebagian batik yang digunakan diciptakan Pura Pakualaman itu terinspirasi dari naskah kuno yang usianya banyak tahun.
“Batik yang mana kami ciptakan terinspirasi dari manuskrip kuno yang dimaksud tersimpan pada Widyapustaka, Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta,” kata Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam dalam sela pengenalan buku Batik Pakualaman: Antara Tradisi, Sastra kemudian Wastra di dalam Pakualaman, Yogyakarta, Kamis 4 Juli 2024.
Bukan tanpa alasan Gusti Putri, sapaan, GKBRAA Paku Alam, mengambil inspirasi motif batik dari manuskrip kuno Pakualaman yang telah berusia banyak tahun itu. Naskah-naskah kuno Pakualaman yang dimaksud juga bukanlah cetakan atau print. Namun semua ditulis tangan juga setiap gambarnya juga digambar manual tangan. Salah satu keistimewaan manuskrip itu tak lain keberadaan aneka gambar yang digunakan menyertai teksnya.
Naskah kuno di Pakualaman ini umumnya berusia 200 tahun. Setiap lembar naskah itu digambar dengan sangat baik juga memiliki filosofi luar biasa. “Sehingga kami pun berniat mengalihwahanakan gambar-gambar dari manuskrip kuno itu ke wastra batik,” tutur perempuan yang dimaksud sejak kecil meningkat besar ke keluarga yang tersebut suka membatik di Batang, Pekalongan Jawa Tengah itu.
Untuk mengintepretasikannya ke media batik, kata Gusti Putri, bukan dapat sembarangan. Mengingat naskah naskah itu di dalam dalamnya mengandung sejarah dan juga nilai nilai kebijaksanaan yang mana diturunkan generasi ke generasi Pakualaman. “Kami jelas tidak ada dapat melakukan kegiatan membatik sesuai keinginan saya,” kata dia.
Gusti Putri pun lantas dengan pasukan perpustakaan dan juga tim pembatik bekerjasama mulai menyebabkan Batik Pakualaman. Tak semata-mata itu. Gusti Putri mengemukakan juga ada laku prihatin yang digunakan harus dilaksanakan sebelum menerjemahkan manusrip itu di media batik. Seperti menep, hening dulu, untuk melakukan giat membatik dari naskah bermetamorfosis menjadi batik.
Diakuinya, untuk menjadikan satu lembar kain batik itu tidaklah mudah. Terutama pada waktu memikirkan gambar apa yang dimaksud akan dibuat batik. Karena tak semua iluminasi yang dimaksud ada ke naskah dapat dibatik.
Proses menerjemahkan naskah kuno ke media batik selama ini diwujudkan dengan memanfaatkan Bangsal Batikan, sebuah area khusus pada komplek Puro Pakualaman Yogya untuk membatik. Semua rute itu lantas dibukukan sebagai komponen dokumentasi sekaligus referensi pembelajaran para pecinta batik.
Batik Puro Pakualaman yang dimaksud dibuat terinspirasi naskah kuno leluhur. Dok. Istimewa
Sejumlah kain-kain Batik Pakualaman yang digunakan telah dilakukan selesai dibuat itu pun turut ditampilkan pada peragaan. Di antaranya Batik Sestra Lukita, Batik Indra Widagda, Batik Yama Linapsuh. Batik Surya Mulyarjo, Batik Bayu Krastala, Batik Wisnu Mamuja, Batik Brama Sembada, Batik Baruna Wicaksana dan juga Batik Asthabrata Jangkep.
Batik-batik ini adalah sebagian kecil dari 120 Batik Pakualaman yang digunakan telah dilakukan dibuat. Motif batik Indra Widagda terinspirasi dari renggan tentang Bhatara Indra di Ajaran Asthabrata. Dalam Asthabrata versi Pakualaman, Dewa Indra adalah dewa ilmu pengetahuan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdik cendekia juga berubah jadi tempat bertanya bagi rakyatnya.
Ilmu pengetahuan digambarkan di gambar bulu angsa yang digunakan pada jaman dahulu berubah menjadi pena atau alat tulis, tertancap pada bola dunia, dan juga pandangan kitab sebagai lambang ilmu pengetahuan.
Batik Indra Widagda bermetamorfosis menjadi tema utama di Dhaup Ageng Bendara Pangeran Haryo Kusumo Kunto Nugroho, putra ke-2 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku ALam X. Ada juga Batik Baruna Wicaksana, motif yang terinspirasi dari renggan Lung Janggi Milet Tranggana dari naskah Babar Palupyan.
Batara Baruna pada Asthabrata Pakualaman digambarkan sebagai teladan kepemimpinan yang digunakan pandai, bersahaja, juga mampu mengayomi. Untaian sulur lalu bunga adalah lambang berlikunya hambatan yang digunakan harus dihadapi manusia pemimpin dengan sikap tenang serta bersahaja, sehingga mengayomi rakyat yang tersebut dipimpinnya.
Anak-Anak Gandrungi Panahan Tradisional Yogyakarta, Ramaikan Peringatan 212 Tahun Pakualaman
Artikel ini disadur dari Cerita Puro Pakualaman Ciptakan Batik Dari Inspirasi Naskah Kuno Berusia Ratusan Tahun