Jakarta – 1 Suro berasal dari asyura yang berarti hari ke-1 Muharram atau bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Bagi umat muslim, waktu malam itu seluruh amalan yang dikerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah. Sementara itu, berdasarkan penanggalan Jawa, waktu malam satu Suro dipercaya sebagai waktu malam pergantian tahun yang mana dianggap momen sakral dan juga penuh makna. Pada bulan Suro, rakyat Jawa menyelenggarakan bermacam macam acara dengan kegiatan juga makna berbeda.
Mengacu buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa di jurnal.buddhidharma.ac.id, sakralitas memperingati di malam hari satu Suro berhubungan dengan budaya keraton. Pada masa lampau, keraton kerap melakukan upacara serta ritual yang digunakan diwariskan turun-temurun. Sa;ah satu yang digunakan masih dijalankan adalah tradisi tapa mbisu mubeng beteng atau puasa bicara sembari keliling benteng ke Yogyakarta.
Setiap waktu malam Suro, rakyat Jawa meyakini bahwa energi alam semesta mengalami perubahan. Bahkan, beberapa pemukim Jawa memiliki kekuatan mistis pada di malam hari Suro. Keyakinan ini yang menciptakan warga Jawa melakukan beragam ritual agar terhindar dari masalah hal buruk saat waktu malam satu Suro tiba.
Awal mula perayaan waktu malam satu Suro bertujuan untuk memperkenalkan kalender Islam bagi kalangan komunitas Jawa. Pada 931 Hijriah, pada saat pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II menimbulkan penyesuaian sistem kalender Hijriah (Islam) dengan kalender Jawa kala itu. Sementara itu, menurut catatan sejarah lain, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilaksanakan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Lalu, pada 1633 Masehi, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka ke Mataram yang mana sekaligus menetapkan 1 Suro sebagai Tahun Baru Jawa, bersamaan dengan 1 Muharram pada kalender Hijriah.
Saat itu, Sultan Agung ingin memperluas ajaran Islam dalam Tanah Jawa. Akibatnya, Sultan Agung berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah berubah jadi kalender Jawa. Penggabungan dua sistem kalender ini bertujuan agar rakyat dapat bersatu lantaran ada perbedaan keyakinan agama kelompok Santri lalu Abangan (Kejawen). Penyatuan kalender yang disebutkan dimulai sejak Hari Jumat Legi, Jumadil Akhir, 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.
Tradisi satu Suro di warga Jawa dianggap penting kemudian disakralkan lantaran beberapa faktor sebagai berikut.
Muharram Salah Satu Periode Suci
Berdasarkan publikasi ilmiah repository.iainbengkulu.ac.id, bagi Islam tradisional, Muharram di antaranya salah satu bulan suci sehingga umat muslim diperintahkan untuk berintropeksi diri, baik selama tahun setelah itu maupun tahun depan. Biasanya, muslim Jawa melakukan ritual mujahadah, doa, bersedekah, atau kenduri untuk memperingati satu Suro.
Bulan Keramat
Muslim Jawa menganggap satu Suro merupakan salah satu bulan keramat lantaran penentu perjalanan hidup. Akibatnya, bagi muslim Jawa pada bulan yang dimaksud disarankan untuk meninggalkan bervariasi perayaan globus untuk intropeksi diri juga fokus beribadah untuk Allah. Setiap agama dan juga kepercayaan pasti miliki bulan khusus untuk berintropeksi diri, salah satunya Suro.
Artikel ini disadur dari Malam 1 Suro yang Penuh Makna dalam Penanggalan Jawa, Ini Tradisi yang Masih Dijalankan