Jakarta –
Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap perempuan-perempuan yang digunakan berstatus terpidana meninggal dalam Indonesia. Mereka disebut ‘tersiksa’ mengawaitu eksekusi mati.
“Hasil kunjungan lalu pemantauan memperlihatkan bahwa terdapat unsur-unsur penyiksaan, perlakuan kejam, tidaklah manusiawi, juga merendahkan martabat manusia teristimewa pada masa deret tunggu,” kata Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi melalui Zoom Meeting, Kamis (4/7/2024).
Menurut Satyawanti, total ada 15 perempuan dengan status terpidana mati dalam Indonesi yang mana tersebar dalam 9 lapas. Komnas Perempuan sendiri disebut Satyawanti sudah ada melakukan pemantauan terhadap 14 dari 15 perempuan terpidana mati: 6 warga perkara pembunuhan serta 8 pemukim tindakan hukum narkotika.
Meski dijatuhi vonis mati, para terpidana itu, disebut Satyawanti, sudah ada menghuni sel puluhan tahun. Dari catatannya, para terpidana berakhir itu telah mengawaitu waktu eksekusi selama 2 tahun sampai 22 tahun, melebihi batas maksimal pidana penjara ke Negara Indonesia yaitu 20 tahun.
“Dalam masa tunggu yang dimaksud lama yang dimaksud berdampak pada status psikologis akibat penantian panjang tanpa kepastian di serangkaian upaya hukum yang digunakan lambat. Apalagi, di masa tunggu tersebut, para perempuan terpidana berakhir ini berada di lapas yang tersebut overkapasitas, prasarana kebersihan lalu kesehatan terbatas, juga bukan tersedia layanan kesegaran mental yang dimaksud memadai,” tuturnya.
“Hal ini memperberat keadaan dan juga penderitaan psikologis yang dialami oleh perempuan terpidana mati lalu dapat dianggap sebagai bentuk penyiksaan juga diskriminasi terhadap martabatnya juga perampasan hak asasi manusia,” imbuh Satyawanti.
Berkaitan dengan hal itu, Komnas Perempuan pun memberikan beberapa orang rekomendasi sebagai berikut:
1. DPR RI
– Tidak mengeluarkan kebijakan pada bentuk undang-undang (UU) yang memuat penyiksaan lalu hukuman mati.
2. Presiden Republik Indonesia
– Mengeluarkan peraturan/kebijakan terkait pelaksanaan komutasi yang tersebut telah terjadi diatur di Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
– Memberikan grasi terhadap para perempuan terpidana mati yang tersebut berada pada deret tunggu hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
– Presiden menimbulkan kebijakan mengenai mekanisme penilaian terhadap para perempuan terpidana tertutup di dalam tingkat lapas sehingga presiden memiliki komponen pertimbangan di memberikan grasi terhadap perempuan terpidana mati.
3. Kejaksaan Agung
– Mengeluarkan kebijakan internal kejaksaan di upaya pencegahan penyiksaan serta penghapusan pidana terhenti dengan tiada melakukan penuntutan pidana mati.
– Tidak melakukan eksekusi pidana tertutup teristimewa terhadap para perempuan terpidana tertutup yang tersebut berada pada deret tunggu untuk menghindari penyiksaan serta penghapusan pidana mati.
4. Mahkamah Agung
– Tidak memberikan vonis pidana meninggal juga memberikan putusan masa percobaan terhadap langkah pidana tertentu.
– Mengingat pidana mati bukanlah lagi pidana pokok seperti di KUHP baru, maka seluruh langkah pidana yang digunakan memuat ancaman hukuman tertutup harus diperiksa secara ketat lalu dengan penjatuhan hukuman yang digunakan memuat pertimbangan proporsional, teristimewa terhadap kondisi kerentanan perempuan terhadap langkah pidana dengan ancaman hukuman mati, dengan semangat penghapusan hukuman mati.
5. Kementerian Hukum kemudian HAM
– Mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah dilakukan diubah di UU Nomor 5 Tahun 2010, yang: a. Memastikan terjadinya transparansi pada proses permohonan sampai dengan pemberian Grasi terhadap Perempuan terpidana b. Melakukan perbaikan serta transparansi data di Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang dimaksud dikelola oleh Ditjen Pemasyarakatan.
6. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
– Memastikan pemenuhan hak-hak dasar bagi perempuan terpidana berakhir yang dimaksud berada pada LPP yaitu hak berhadapan dengan kesehatan, khususnya akses terhadap layanan kesehatan mental, infrastruktur kesehatan serta keseimbangan reproduksi, juga hak mendapatkan pendampingan hukum yang tersebut berkualitas.
– Melakukan asesmen berkala terhadap situasi perempuan terpidana mati untuk menentukan intervensi yang tersebut harus dikerjakan oleh LPP untuk pemenuhan keinginan perempuan terpidana mati.
(dek/dhn)
Artikel ini disadur dari Komnas Perempuan Temukan 14 Wanita Terpidana Mati ‘Tersiksa’ Masa Tunggu