Jakarta – Transparency International Indonesia memproduksi penilaian terhadap 121 perusahaan tambang yang dimaksud beroperasi di dalam Indonesia. Penilaian dengan menggunakan metode Transparency in Corporate Reporting atau Trac. Penelitian ini digunakan untuk mengevaluasi dan juga menafsirkan sejauh mana perusahaan terbuka di pelaporan perihal kebijakan antikorupsi juga komitmen terhadap kepatuhan hukum.
Peneliti Transparency International Indonesia, Gita Ayu Atikah, mengemukakan eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi seharusnya dijalankan dengan memperhatikan aspek-aspek antikorupsi, sosial, lalu HAM agar bukan menyebabkan dampak negatif jangka panjang.
“Tidak maksimalnya pendapatan negara di dalam sektor tambang disebabkan berubah-ubah tindakan hukum korupsi. Belum lagi dampak sosial dan juga bencana ekologis yang digunakan menyertainya,” kata Gita pada penjelasan tertulis, Senin, 1 Juli 2024.
Dalam penelitian itu, Gita menyimpulkan bahwa perusahaan tambang tak memiliki kebijakan yang memadai dari aspek antikorupsi, sosial, kemudian hak asasi manusia (HAM). Sehingga sulit menghindar dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Di sisi lain, kata Gita, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi kemudian lingkungan dalam sektor sumber daya alam tak selalu membuahkan putusan adil bagi masyarakat lalu lingkungan hidup.
“Belum lagi eksekusi putusan di bervariasi tindakan hukum yang mana terkait kerugian negara serta lingkungan mengalami berbagai tantangan serta hambatan,” ujar dia. Gita menjelaskan, ada dua aspek besar yang tersebut dinilai oleh organisasi itu di penelitian tersebut, yakni aspek antikorupsi (lima dimensi) juga aspek sosial lalu HAM (4 dimensi). Dalam temuannya terungkap bahwa Poin TRAC untuk Aspek Antikorupsi dari 121 perusahaan tambang di dalam Indonesia hanya saja sebesar 0,30 dari skor maksimal 10.
Menurut dia, skor itu menandakan mayoritas perusahaan tambang berada pada kategori skor sangat rendah pada mengungkapkan kebijakan juga inisiatif antikorupsi perusahaan. Tak berbeda terpencil dengan aspek sosial dan juga HAM yang mana cuma memperoleh skor 0,32 dari skor maksimal 10. Poin ini mengindikasikan bahwa rata-rata perolehan skor dari 121 perusahaan tambang pada Tanah Air berada pada kategori skor sangat rendah di menjalankan praktik industri yang mana berintegritas dan juga ramah lingkungan.
Atas hasil penilitian itu, Gita menyatakan Transparency International Indonesia merekomendasikan agar pemerintah harus menyediakan regulasi serta prosedur untuk mewajibkan komitmen antikorupsi perusahaan tambang secara komprehensif. Serta melakukan pengawasan dan juga penegakan hukum yang dimaksud efektif.
Menurut dia, regulasi dan juga prosedur untuk mewajibkan komitmen antikorupsi itu bertujuan agar setiap perusahaan diberikan izin pertambangan memenuhi prinsip-prinsip yang dimaksud mampu menghindari terjadinya praktik korupsi serta pelanggaran. Gita mengatakan, perusahaan penting melakukan konfirmasi adanya kebijakan antikorupsi yang esensial untuk memitigasi pelanggaran dan juga melindungi warga dari dampak sosial serta kerusakan lingkungan.
Gita menjelaskan sektor pertambangan telah terjadi berubah menjadi primadona sejak dulu di upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kekayaan alam dengan bermacam jenis mineral serta tambang ini seharusnya berubah menjadi keunggulan untuk mengakibatkan Nusantara berubah menjadi negara maju.
Namun beliau menilai, upaya itu mengalami hambatan. Praktik state captured di perumusan kebijakan sektor pertambangan hingga bermacam tindakan hukum korupsi, kata Gita, membuktikan lemahnya aspek-aspek antikorupsi di korporasi tambang.
Artikel ini disadur dari Peneliti TI Indonesia: Aspek Antikorupsi dalam Korporasi Tambang Masih Lemah